Jumat, 18 September 2015

FATWA ULAMA ISLAM DALAM MEMPERINGATI 40 ,100 & 1000 HARI KEMATIAN

fatwa para Ulama Islam dan
Ijma’ mereka dalam masalah
“selamatan kematian”.
1. Telah berkata Imamnya para Ulama,
mujtahid mutlak, lautan ilmu, pembela
Sunnah. Al-Imam Asy-Syafi’iy di
ktabnya ‘Al-Um” (I/318).
“Aku benci al ma'tam yaitu berkumpul-
kumpul dirumah ahli mayit meskipun
tidak ada tangisan, karena
sesungguhnya yang demikian itu akan
memperbaharui kesedihan"[1]
Perkataan imam kita diatas jelas
sekali yang tidak bisa dita'wil atau
ditafsirkan kepada arti dan makna lain
kecuali bahwa beliau dengan tegas
mengharamkan berkumpul-kumpul
dirumah keluarga/ahli mayit. Ini baru
berkumpul saja, bagaimana kalau
disertai dengan apa yang kita namakan
disini sebagai Tahlilan ?"
2. Telah berkata Imam Ibnu Qudamah,
di kitabnya Al Mughni (Juz 3 halaman
496-497 cetakan baru ditahqiq oleh
Syaikh Abdullah bin Abdul Muhsin At
Turki ) :
“Adapun ahli mayit membuatkan
makanan untuk orang banyak maka itu
satu hal yang dibenci ( haram ).
Karena akan menambah kesusahan
diatas musibah mereka dan
menyibukkan mereka diatas kesibukan
mereka [2] dan menyerupai perbuatan
orang-orang jahiliyyah.
Dan telah diriwayatkan bahwasannya
Jarir pernah bertamu kepada Umar.
Lalu Umar bertanya,.Apakah mayit
kamu diratapi ?" Jawab Jarir, "
Tidak !" Umar bertanya lagi, " Apakah
mereka berkumpul di rumah ahli mayit
dan mereka membuat makanan ? Jawab
Jarir, " Ya !" Berkata Umar, " Itulah
ratapan !"
3. Telah berkata Syaikh Ahmad
Abdurrahman Al Banna, di kitabnya :
Fathurrabbani tartib musnad Imam
Ahmad bin Hambal ( 8/95-96) :
"Telah sepakat imam yang empat (Abu
Hanifah, Malik, Syafi'i dan Ahmad)
atas tidak disukainya ahli mayit
membuat makanan untuk orang banyak
yang mana mereka berkumpul disitu
berdalil dengan hadits Jarir bin
Abdullah. Dan zhahirnya adalah HARAM
karena meratapi mayit hukumnya
haram, sedangkan para Shahabat telah
memasukkannya (yakni berkumpul-
kumpul di rumah ahli mayit) bagian dari
meratap dan dia itu (jelas) haram.
Dan diantara faedah hadits Jarir ialah
tidak diperbolehkannya berkumpul-
kumpul dirumah ahli mayit dengan
alasan ta'ziyah /melayat sebagaimana
dikerjakan orang sekarang ini.
Telah berkata An Nawawi rahimahullah
: Adapun duduk-duduk (dirumah ahli
mayit ) dengan alasan untuk ta'ziyah
telah dijelaskan oleh Imam Syafi'i dan
pengarang kitab Al Muhadzdzab dan
kawan-kawan semadzhab atas
dibencinya (perbuatan
tersebut)........
Kemudian Nawawi menjelaskan lagi, "
Telah berkata pengarang kitab Al
Muhadzdzab : “Dibenci duduk-duduk
(ditempat ahli mayit ) dengan alasan
untuk ta'ziyah. Karena sesungguhnya
yang demikian itu adalah muhdats (hal
yang baru yang tidak ada keterangan
dari Agama), sedang muhdats adalah "
Bid'ah."
Kemudian Syaikh Ahmad Abdurrahman
Al-Banna di akhir syarahnya atas
hadits Jarir menegaskan : “Maka, apa
yang biasa dikerjakan oleh kebanyakan
orang sekarang ini yaitu berkumpul-
kupmul (di tempat ahli mayit) dengan
alasan ta’ziyah dan mengadakan
penyembelihan, menyediakan makanan,
memasang tenda dan permadani dan
lain-lain dari pemborosan harta yang
banyak dalam seluruh urusan yang
bid’ah ini mereka tidak maksudkan
kecuali untuk bermegah-megah dan
pamer supaya orang-orang memujinya
bahwa si fulan telah mengerjakan ini
dan itu dan menginfakkan hartanya
untuk tahlilan bapak-nya. Semuanya
itu adalah HARAM menyalahi petunjuk
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan
Salafush shalih dari para shahabat dan
tabi’in dan tidak pernah diucapkan oleh
seorangpun juga dari Imam-imam
Agama (kita).
Kita memohon kepada Allah
keselamatan !”
4. Al Imam An Nawawi, dikitabnya Al
Majmu' Syarah Muhadzdzab
(5/319-320) telah menjelaskan
tentang bid'ahnya berkumpul-kumpul
dan makan-makan dirumah ahli mayit
dengan membawakan perkataan penulis
kitab Asy -Syaamil dan lain-lain Ulama
dan beliau menyetujuinya berdalil
dengan hadits Jarir yang beliau
tegaskan sanadnya shahih. Dan hal
inipun beliau tegaskan di kitab beliau
“Raudlotuth Tholibin (2/145).
5. Telah berkata Al Imam Asy
Syairoziy, dikitabnya Muhadzdzab yang
kemudian disyarahkan oleh Imam
Nawawi dengan nama Al Majmu' Syarah
Muhadzdzab : "Tidak disukai /dibenci
duduk-duduk (ditempat ahli mayit)
dengan alasan untuk Ta'ziyah karena
sesungguhnya yang demikian itu
muhdats sedangkan muhdats adalah "
Bid'ah ".
Dan Imam Nawawi menyetujuinya
bahwa perbatan tersebut bid’ah. [Baca
; Al-Majmu’ syarah muhadzdzab juz. 5
halaman 305-306]
6. Al Imam Ibnul Humam Al Hanafi, di
kitabnya Fathul Qadir (2/142) dengan
tegas dan terang menyatakan bahwa
perbuatan tersebut adalah " Bid'ah
Yang Jelek". Beliau berdalil dengan
hadits Jarir yang beliau katakan
shahih.
7. Al Imam Ibnul Qayyim, di kitabnya
Zaadul Ma'aad (I/527-528)
menegaskan bahwa berkumpul-kumpul
(dirumah ahli mayit) dengan alasan
untuk ta'ziyah dan membacakan Qur'an
untuk mayit adalah " Bid'ah " yang
tidak ada petunjuknya dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
8. Al Imam Asy Syaukani, dikitabnya
Nailul Authar (4/148) menegaskan
bahwa hal tersebut Menyalahi Sunnah.
9. Berkata penulis kitab ‘Al-Fiqhul
Islamiy” (2/549) : “Adapaun ahli mayit
membuat makanan untuk orang banyak
maka hal tersebut dibenci dan Bid’ah
yang tidak ada asalnya. Karena akan
menambah musibah mereka dan
menyibukkan mereka diatas kesibukan
mereka dan menyerupai (tasyabbuh)
perbuatan orang-orang jahiliyyah”.
10. Al Imam Ahmad bin Hambal, ketika
ditanya tentang masalah ini beliau
menjawab : " Dibuatkan makanan untuk
mereka (ahli mayit ) dan tidaklah
mereka (ahli mayit ) membuatkan
makanan untuk para
penta'ziyah." [Masaa-il Imam Ahmad
bin Hambal oleh Imam Abu Dawud hal.
139]
11. Berkata Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah, " Disukai membuatkan
makanan untuk ahli mayit dan
mengirimnya kepada mereka. Akan
tetapi tidak disukai mereka membuat
makanan untuk para penta'ziyah.
Demikian menurut madzhab Ahmad dan
lain-lain." [Al Ikhtiyaaraat Fiqhiyyah
hal.93]
12. Berkata Al Imam Al Ghazali,
dikitabnya Al Wajiz Fighi Al Imam Asy
Syafi'i (I/79), " Disukai membuatkan
makanan untuk ahli mayit."
KESIMPULAN.
Pertama : Bahwa berkumpul-kumpul
ditempat ahli mayit hukumnya adalah
BID'AH dengan kesepakatan para
Shahabat dan seluruh imam dan ulama'
termasuk didalamnya imam empat.
Kedua : Akan bertambah bid'ahnya
apabila ahli mayit membuatkan
makanan untuk para penta'ziyah.
Ketiga : Akan lebih bertambah lagi
bid'ahnya apabila disitu diadakan
tahlilan pada hari pertama dan
seterusnya.
Keempat : Perbuatan yang mulia dan
terpuji menurut SUNNAH NABI
Shallallahu ‘alaihi wa sallam kaum
kerabat /sanak famili dan para jiran/
tetangga memberikan makanan untuk
ahli mayit yang sekiranya dapat
mengenyangkan mereka untuk mereka
makan sehari semalam. Ini
berdasarkan sabda Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam ketika Ja'far bin Abi
Thalib wafat.
"Buatlah makanan untuk keluarga
Ja'far ! Karena sesungguhnya telah
datang kepada mereka apa yang
menyibukakan mereka (yakni musibah
kematian)." [Hadits Shahih, riwayat
Imam Asy Syafi'i ( I/317), Abu Dawud,
Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad
(I/205)]
Hal inilah yang disukai oleh para ulama
kita seperti Syafi’iy dan lain-lain
(bacalah keterangan mereka di kitab-
kitab yang kami turunkan di atas).
Berkata Imam Syafi’iy : “Aku menyukai
bagi para tetangga mayit dan sanak
familinya membuat makanan untuk ahli
mayit pada hari kematiannya dan
malam harinya yang sekiranya dapat
mengenyangkan mereka, karena
sesungguhnya yang demikian adalah
(mengikuti) SUNNAH (Nabi).... “ [Al-
Um I/317]

Sejarah/Asal-Usul Memperingati 40 ,100 & 1000 hari Kematian

Assalamu'alikum Wr Wb

Kita mengenal sebuah ritual
keagamaan di dalam masyarakat muslim
ketika terjadi kematian
adalah menyelenggarakan selamatan
kematian/kenduri kematian/tahlilan/
yasinan
(karena yang biasa dibaca adalah surat
Yasin)
di hari ke 7, 40, 100, dan 1000 harinya.
mari kita mengkaji permasalahan ini
secara praktis dan ilmiah.
Setelah diteliti
ternyata amalan selamatan kematian/
kenduri kematian/tahlilan/yasinan
(karena yang biasa dibaca adalah surat
Yasin) di hari ke 7, 40, 100, dan 1000
hari,
bukan berasal dari Al Quran, Hadits
(sunah rasul)
dan juga Ijma Sahabat,
malah kita bisa melacaknya dikitab-
kitab agama hindu.
Disebutkan bahwa kepercayaan yang
ada pada sebagian ummat Islam,
orang yang meninggal jika tidak
diadakan selamatan (kenduri: 1 hari, 3
hari, 7 hari, 40 hari dst, /red )
maka rohnya akan gentayangan adalah
jelas-jelas berasal dari ajaran agama
Hindu.

Dalam agama Hindu
ada syahadat yang dikenal dengan
Panca Sradha (Lima Keyakinan) .
Lima keyakinan itu meliputi percaya
kepada
1. Sang Hyang Widhi,
2. Roh leluhur,
3. Karma Pala,
4. Samskara,
5. dan Moksa.

Dalam keyakinan Hindu
roh leluhur (orang mati) harus
dihormati
karena bisa menjadi dewa terdekat
dari manusia
[Kitab Weda Smerti Hal. 99 No. 192].
Selain itu dikenal juga dalam Hindu
adanya Samskara (menitis/
reinkarnasi).
Dalam Kitab Manawa Dharma Sastra
Weda Smerti hal. 99, 192, 193 yang
berbunyi :
"Termashurlah selamatan yang
diadakan pada hari pertama, ketujuh,
empat puluh, seratus dan seribu."
Dalam buku media Hindu yang berjudul :
" Nilai-nilai Hindu dalam budaya Jawa,
serpihan yang tertinggal "
karya : Ida Bedande Adi Suripto, ia
mengatakan :
" Upacara selamatan untuk
memperingati hari kematian orang
Jawa hari ke 1, 7, 40, 100, dan 1000
hari, jelas adalah ajaran Hindu."

Telah jelas bagi kita pada awalnya
ajaran ini berasal dari agama Hindu,
selanjutnya umat islam mulai
memasukkan ajaran-ajaran islam
dicampur kedalam ritual ini.
Disusunlah rangkaian wirid-wirid dan
doa-doa
serta pembacaan Surat Yasin kepada si
mayit
dan dipadukan dengan ritual-ritual
selamatan
pada hari ke 7, 40, 100, dan 1000
yang tidak pernah diajarkan oleh Nabi
dan para sahabatnya.
Apakah mencampur-campur ajaran
seperti ini diperbolehkan??
campur mencampur ajaran ini
tanpa sadar sudah diajarkan dan
menjadi keyakinan nenek moyang kita
dulu
yang ternyata sebagian dari kaum
muslimin pun telah mewarisinya
dan gigih mempertahankannya.

Lalu..........
apakah kita lebih memegang perkataan
nenek moyang kita
daripada apa-apa yang di turunkan
Allah kepada RasulNya ????..........
Allah berfirman :
ﻭَﺇِﺫَﺍ ﻗِﻴﻞَ ﻟَﻬُﻢُ ﺍﺗَّﺒِﻌُﻮﺍ ﻣَﺎ ﺃَﻧْﺰَﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻗَﺎﻟُﻮﺍ ﺑَﻞْ ﻧَﺘَّﺒِﻊُ ﻣَﺎ ﺃَﻟْﻔَﻴْﻨَﺎ
ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺁﺑَﺎﺀَﻧَﺎ ﺃَﻭَﻟَﻮْ ﻛَﺎﻥَ ﺁﺑَﺎﺅُﻫُﻢْ ﻻ ﻳَﻌْﻘِﻠُﻮﻥَ ﺷَﻴْﺌًﺎ ﻭَﻻ ﻳَﻬْﺘَﺪُﻭﻥَ
”Dan apabila dikatakan kepada mereka
:
”Ikutilah apa yang telah diturunkan
Allah”.
Mereka menjawab :”
(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti
apa yang telah kami dapati dari
(perbuatan) nenek moyang kami”.
Apakah mereka akan mengikuti juga,
walaupun nenek moyang mereka itu
tidak mengetahui suatu apapun, dan
tidak mendapat petunjuk?”
(QS Al Baqoroh ayat 170)
Allah berfirman :
ﻭَﻻ ﺗَﻠْﺒِﺴُﻮﺍ ﺍﻟْﺤَﻖَّ ﺑِﺎﻟْﺒَﺎﻃِﻞِ ﻭَﺗَﻜْﺘُﻤُﻮﺍ ﺍﻟْﺤَﻖَّ ﻭَﺃَﻧْﺘُﻢْ ﺗَﻌْﻠَﻤُﻮﻥَ
"Dan janganlah kamu
mencampuradukkan Kebenaran dengan
Kebatilan
dan janganlah kamu sembunyikan
kebenaran sedangkan kamu
mengetahuinya"
(QS Al Baqarah 42)
Allah subhanahu wa ta'ala
menyuruh kita untuk tidak boleh
mencampuradukkan ajaran agama islam
(kebenaran)
dengan ajaran agama Hindu (kebatilan)
tetapi kita malah ikut perkataan
manusia
bahwa mencampuradukkan agama itu
boleh,
Apa manusia itu lebih pintar dari Allah
???...

Selanjutnya Allah berfirman :
ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﺍﺩْﺧُﻠُﻮﺍ ﻓِﻲ ﺍﻟﺴِّﻠْﻢِ ﻛَﺎﻓَّﺔً ﻭَﻻ ﺗَﺘَّﺒِﻌُﻮﺍ
ﺧُﻄُﻮَﺍﺕِ ﺍﻟﺸَّﻴْﻄَﺎﻥِ ﺇِﻧَّﻪُ ﻟَﻜُﻢْ ﻋَﺪُﻭٌّ ﻣُﺒِﻴﻦٌ
"Hai orang-orang yang beriman,
masuklah kamu ke dalam Islam secara
keseluruhannya,
dan janganlah kamu turut langkah-
langkah setan.
Sesungguhnya setan itu musuh yang
nyata bagimu".
[QS. Albaqoroh : 208].
Allah menyuruh kita dalam berislam
MENYELURUH..........
tidak setengah-setengah.............
TIDAK SETENGAH HINDU .......
SETENGAH ISLAM.............
..Wawllahu A'lam Bisshowab..

Dalam buku Kisah dan Ajaran Wali
Songo
(yang ditulis H. Lawrens Rasyidi dan
diterbitkan Penerbit Terbit Terang
Surabaya )
juga mengupas panjang lebar mengenai
masalah ini.
Dimana Sunan Kalijaga, Sunan Bonang,
Sunan Kudus, Sunan Gunungjati dan
Sunan Muria (kaum abangan)
berbeda pandangan mengenai adat
istiadat dengan Sunan Ampel, Sunan
Giri dan Sunan Drajat (kaum putihan).
Sunan Kalijaga mengusulkan agar adat
istiadat lama
seperti selamatan, bersaji, wayang
dan gamelan dimasuki rasa keislaman.
Sunan Ampel berpandangan lain:
“Apakah tidak mengkhawatirkannya di
kemudian hari
bahwa adat istiadat dan upacara lama
itu
nanti dianggap sebagai ajaran yang
berasal dari agama Islam?
Jika hal ini dibiarkan nantinya akan
menjadi bid’ah?”
Sunan kudus menjawabnya
bahwa ia mempunyai keyakinan bahwa
di belakang hari akan ada yang
menyempurnakannya.
(hal 41, 64)
Dalam buku yang ditulis H Machrus Ali,
mengutip naskah kuno tentang jawa
yang tersimpan di musium Leiden,
Sunan Ampel memperingatkan Sunan
Kalijogo
yang masih melestarikan selamatan
tersebut:
“Jangan ditiru perbuatan semacam itu
karena termasuk bid'ah”.
Sunan Kalijogo menjawab:
“Biarlah nanti generasi setelah kita
ketika Islam telah tertanam di hati
masyarakat yang akan menghilangkan
budaya tahlilan itu”.
__________________________________________________________
__________________________________________________________
Oleh
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat
ﻋَﻦْ ﺟَﺮِﻳْﺮﺑْﻦِ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺍﻟْﺒَﺠَﻠِﻲِّ ﻗَﺎﻝَ : ﻛُﻨَّﺎ ﻧَﺮَﻯ ‏( ﻭﻓِﻰ ﺭِﻭَﺍﻳَﺔٍ
: ﻛُﻨَﺎ ﻧَﻌُﺪُّ ‏) ﺍْﻻِﺟْﺘِﻤَﺎﻉ ﺍِﻟَﻰ ﺃَﻫﻞِ ﺍﻟْﻤَﻴِّﺖِ ﻭَﺻَﻨْﻌَﺔَ ﺍﻟﻄَّﻌَﺎﻡِ ‏( ﺑَﻌْﺪَ
ﺩَﻓْﻨِﻪِ‏) ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻨِّﻴَﺎﺣَﺔِ
"Dari Jarir bin Abdullah Al Bajaliy, ia
berkata : " Kami (yakni para shahabat
semuanya) memandang/menganggap
(yakni menurut madzhab kami para
shahabat) bahwa berkumpul-kumpul di
tempat ahli mayit dan membuatkan
makanan sesudah ditanamnya mayit
termasuk dari bagian meratap"
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini atau atsar di atas
dikeluarkan oleh Imam Ibnu Majah
(No. 1612 dan ini adalah lafadzhnya)
dan Imam Ahmad di musnadnya (2/204
dan riwayat yang kedua bersama
tambahannya keduanya adalah dari
riwayat beliau), dari jalan Ismail bin
Abi Khalid dari Qais bin Abi Hazim dari
Jarir sebagaimana tersebut di atas.
Saya berkata : Sanad Hadits ini shahih
dan rawi-rawinya semuanya tsiqat
(dapat dipercaya ) atas syarat Bukhari
dan Muslim.
Dan hadits atau atsar ini telah
dishahihkan oleh jama’ah para Ulama
yakni para Ulama Islam telah ijma/
sepakat tentang hadits atau atsar di
atas dalam beberapa hal.
Pertama : Mereka ijma' atas
keshahihan hadits tersebut dan tidak
ada seorang pun Ulama -sepanjang
yang diketahui penulis- wallahu a’lam
yang mendloifkan hadits ini. Dan ini
disebabkan seluruh rawi yang ada di
sanad hadits ini –sebagaimana saya
katakan dimuka- tsiqoh dan termasuk
rawi-rawi yang dipakai oleh Imam
Bukhari dan Muslim.
Kedua : Mereka ijma' dalam menerima
hadits atau atsar dari ijma' para
shahabat yang diterangkan oleh Jarir
bin Abdullah. Yakni tidak ada
seorangpun Ulama yang menolak atsar
ini. Yang saya maksud dengan
penerimaan (qobul) para Ulama ini
ialah mereka menetapkan adanya ijma’
para shahabat dalam masalah ini dan
tidak ada seorangpun di antara mereka
yang menyalahinya.
Ketiga : Mereka ijma' dalam
mengamalkan hadits atau atsar diatas.
Mereka dari zaman shahabat sampai
zaman kita sekarang ini senantiasa
melarang dan mengharamkan apa yang
telah di ijma'kan oleh para shahabat
yaitu berkumpul-kumpul ditempat atau
rumah ahli mayit yang biasa kita kenal
di negeri kita ini dengan nama "
Selamatan Kematian atau Tahlilan".